Senin, 18 Januari 2016

Putusan sidang rakyat kasus 1965

Putusan sela Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) menyangkut histori th 1965, yg berisi pernyatan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat, direncanakan dapat dijadikan dokumen utk melobi warga internasional walau putusan itu tidak memiliki kebolehan hukum. 
Koordinator penyelenggara sidang rakyat yg digelar selagi empat hri & mogok Jumat (13/11), Nursyahbani Katjasungkana, menyampaikan sidang tersebut baru langkah perdana. 
“Kita bakal memanfaatkan putusan IPT 1965 yang merupakan dokumen lobi terhadap organisasi-organisasi internasional baik LSM ataupun PBB jikalau dalam enam bln ke depan atau maksimum satu th pemerintah Indonesia tak melaksanakan kewajibannya menurut hukum nasional ataupun internasional," jelasnya di Den Haag. 
Lantaran putusan majelis hakim baru ketentuan awal, sehingga penyelenggara bakal lakukan persiapan utk menggelar sidang putusan akhir. Sidang itu direncanakan bakal digelar thn depan di Jenewa. 
Proses penyembuhan 
Nursyahbani Katjasungkana memaparkan sidang IPT 1965 baru langkah awal. 
Langkah-langkah ini mendesak dilakukan, lebih-lebih para penyintas telah semakin sepuh. 
"Pengungkapan kenyataan & pelurusan peristiwa biar generasi jejaka mendapati peristiwa negaranya yg jujur namun pula semacam penyembuhan bagi korban sebab setidaknya organisasi HAM internasional atau warga internasional dengan cara umum mengakui adanya kriminil HAM berat yg dialami para korban & wakil-wakilnya," terang Nursyahbani. 
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Dianto Bachriadi setuju seandainya sidang rakyat ini butuh dilakukan meski akhirnya tak memiliki kapabilitas hukum. 
"Yang telah di capai oleh IPT ini yaitu satu upaya utk mengungkapkan kenyataan & ada tempat buat para korban & pun saksi-saksi yg lain buat mengatakan apa yg mereka ketahui, apa yg mereka rasakan, apa yg mereka alami, apa yg mereka derita, apa yg dapat mereka analisis dari histori 65 itu. 
"Dan ini benar-benar sepihak, tetapi tempat itu kan mesti mulai sejak di buka." 

Setidaknya 200 orang per hri mengikuti proses sidang yg digelar di gedung Nieuwe Kerk, Den Haag. 
Dia merujuk terhadap saksi-saksi yg hadir yakni mereka yg dihadirkan oleh jaksa & tiada satu juga saksi yg mewakili pemerintah Indonesia atau negeri Indonesia. Hakim menyayangkan ketidakhadiran mereka dalam sidang, meski mereka diundang. 
Manfaat bagi Komnas HAM 
Bukti-bukti & kesaksian yg diajukan ke Pengadilan Rakyat Internasional 1965 sebenarnya tak terlampaui baru. Sebahagian juga telah dimuat dalam laporan investigasi Komnas HAM kepada 2012 & telah diserahkan ke Kejaksaan Akbar. 

Rangkuman IPT 1965 selaras dgn laporan Komnas HAM, kata Dianto Bachriadi. 
Tapi, menurut Dianto Bachriadi, lembaganya terus sanggup membawa manfaat dari hasil sidang IPT 1965, terutama dikarenakan investigasinya belum hingga kepada dugaan kekerasan seksual sama seperti dibeberkan oleh satu orang penyintas dari Yogyakarta. Tidak Cuma itu, kesimpulan-kesimpulan IPT memperkuat hasil penyelidikan Komnas HAM. 
"Komnas sanggup mendapat satu penguatan baru utk kita menyambung upaya buat menagih terhadap pemerintah, khususnya Kejaksaan Besar biar dilanjutkan bersama penyidikan," terangnya pada jurnalis BBC Indonesia, Rohmatin Bonasir di Den Haag. 
Menko Polhukam Luhut Padjaitan pada awal mulanya menegaskan tak ada orang yg kemungkinan dapat diadili dalam kasus dugaan kekejaman pasca histori 30 September itu. 
"Sudah terhadap mati (orang) yang(ingin) diadili. Yg PKI ada (yg) dibunuh, yg jenderal pun ada (yg) dibunuh. Menjadi waktu ini siapa yg ingin diadili?" 
Guru gede emeritus bagian hukum internasional, Ko Swan Sik, pun mengemukakan sukar mengambil kasus tersebut ke peradilan formal sebab hambatan terdakwa & pembuktian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar